Rumah Bubungan Tinggi adalah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah tradisional suku Banjar (disebut rumah
Banjar) diKalimantan Selatan dan bisa dibilang
merupakan ikonnya Rumah Banjar karena jenis rumah inilah yang paling terkenal
karena menjadi maskot rumah adat khas provinsi Kalimantan Selatan. Di dalam
kompleks keraton Banjar dahulu kala bangunan rumah
Bubungan Tinggi merupakan pusat atau sentral dari keraton yang menjadi istana
kediaman raja (bahasa Jawa: kedhaton) yang
disebut Dalam Sirap (bahasa Jawa:
ndalem) yang dahulu tepat di depan rumah tersebut dibangun sebuah Balai Seba pada
tahaun 1780 pada masa pemerintahanPanembahan
Batuah.
Menurut Tim Depdikbud Kalsel, ciri-cirinya :
Atap Sindang
Langit tanpa plafon
Tangga Naik selalu ganjil
Konstruksi rumah adat Banjar atau rumah ba-anjung dibuat
dengan bahan kayu. Faktor alam Kalimantan yang penuh dengan hutan rimbatelah memberikan bahan konstruksi
yang melimpah kepada mereka, yaitu kayu.
Sesuai dengan bentuk serta konstruksi bangunan rumah adat
Banjar tersebut maka hanya kayulah yang merupakan bahan yang tepat dan sesuai
dengan konstruksi bangunannya.
Konstruksi pokok dari rumah adat Banjar dapat dibagi atas beberapa
bagian, yaitu :
Tubuh bangunan yang memanjang lurus ke depan, merupakan
bangunan induk.
Bangunan yang menempel di kiri dan kanan disebut Anjung.
Bubungan atap yang tinggi melancip disebut Bubungan
Tinggi.
Bubungan atap sengkuap yang memanjang ke depan disebut atap Sindang
Langit.
Bubungan atap yang memanjang ke belakang disebut atap Hambin Awan.
Tubuh bangunan
induk yang memanjang terus ke depan dibagi atas ruangan-ruangan yang berjenjang
lantainya.
Ruangan-ruangan yang berjenjang lantainya ialah :
Palatar (pendopo atau teras), ruangan depan yang merupakan
ruangan rumah yang pertama setelah menaiki tangga masuk. Ukuran luas ruangan
ini adalah 7 x 3 meter. Palatar disebut juga Pamedangan.
Pacira, yaitu ruang antara
(transisi) yang terbagi dua bagian yaitu pacira dalam dan pacira luar. Pacira
Dalam berfungsi untuk menyimpan alat pertanian, menangkap ikan dan pertukangan.
Kedua pacira ini hanya dibedakan oleh posisinya saja. Pacira Luar tepat berada
di muka pintu depan (Lawang Hadapan).
Panampik Kacil, yaitu ruang tamu muka merupakan
ruangan yang agak kecil setelah masuk melalui Lawang
Hadapan yaitu pintu depan. Permukaan lantainya lebih tinggi daripada
lantai palatar. Ambang lantai disini disebut Watun Sambutan. Luas
ruangan ini adalah 7 x 3 meter.
Panampik Tangah yaitu ruang tamu tengah
merupakan ruangan yang lebih luas dari panampik kacil. Lantainya juga lebih
tinggi dari ruang sebelumnya. Ambang lantai ini disebut Watun Jajakan.
Panampik Basar atau Ambin Sayup,
yaitu ruang tamu utama merupakan ruangan yang menghadapi dinding tengah
(Banjar: Tawing Halat). Permukaan lantainya lebih tinggi pula
dari lantai sebelumnya. Ambang Lantainya disebut Watun Jajakan, sama dengan
ambang lantai pada Panampik Tangah. Luas ruangan 7 x 5 meter.
Palidangan atau Ambin Dalam,
yaitu ruang bagian dalam rumah yang berbatas
dengan panampik basar. Lantai palidangan sama tinggi dengan lantai panampik
basar (tapi ada juga beberapa rumah yang membuat lantai panampik basar lebih
rendah dari lantai palidangan). Karena dasar kedua pintu yang ada di tawing
halat tidak sampai ke dasar lantai maka watun di sini disebut Watun Langkahan. Luas ruang
ini 7 x 7 meter. Di dalam ruangan Palidangan ini terdapat tiang-tiang besar
yang menyangga bubungan tinggi (jumlahnya 8 batang). Tiang-tiang ini disebut Tihang Pitugur atau Tihang Guru.
Panampik Dalam atau Panampik
Bawah, yaitu ruangan dalam yang cukup luas dengan
permukaan lantai lebih rendah daripada lantai
palidangan dan sama tingginya dengan permukaan lantai panampik tangah. Ambang lantai
ini disebut pula dengan Watun Jajakan. Luas ruang 7 x 5 meter.
Padapuran atau Padu, yaitu ruangan
terakhir bagian belakang bangunan. Permukaan lantainya lebih rendah pula dari
panampik bawah. Ambang lantainya disebut Watun Juntaian. Kadang-kadang Watun Juntaian itu
cukup tinggi sehingga sering di tempat itu diberi tangga untuk keperluan turun
naik. Ruangan padapuran ini dibagi atas bagian atangan (tempat memasak) dan salaian (tempat mengeringkan
kayu api), pajijiban dan pagaduran (tempat mencuci
piring atau pakaian). Luas ruangan ini adalah 7 x 3 meter.
Tentang ukuran tinggi, lebar dan panjang setiap
rumah adat Banjar pada umumnya relatif berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh
karena ukuran pada waktu itu didasarkan atas ukuran depa atau jengkal.
Ukuran depa atau jengkal tersebut justru
diambil dari tangan pemilik rumah sendiri;
sehingga setiap rumah mempunyai ukuran yang berbeda.
Ada kepercayaan di sana yang mengatakan bahwa setiap
ukuran haruslah dengan hitungan yang ganjil bilangan ganjil.
Penjumlahan ganjil tersebut tidak saja terlihat di dalam hal
ukuran panjang dan lebar, tapi juga sampai dengan jumlah hiasan tangga, anak
tangga, layang-layang puncak dan lain-lain.
Jikalau diukur, maka panjang bangunan induk rumah adat
Banjar pada umumnya adalah 31 meter sedang lebar bangunan induk adalah 7 meter dan lebar
anjung masing-masing 5 meter.
Lantai dari permukaan tanah sekitar 2 meter yaitu kolong di
bawah anjung dan palidangan; sedangkan jarak lantai terendah rata-rata 1 meter,
yaitu kolong lantai ruang palatar.
Tata ruang rumah tradisional Bubungan Tinggi membedakan
adanya tiga jenis ruang yaitu ruang terbuka, setengah terbuka dan ruang dalam.
Ruang terbuka terdiri dari pelataran atau serambi, yang
dibagi lagi menjadi surambi muka dan surambi sambutan.
Ruang setengah terbuka diberi pagar rasi disebut Lapangan Pamedangan.
Sedangkan ruang dalam dibagi menjadi Pacira dan Panurunan (Panampik
Kacil), Paluaran (Panampik
Basar), Paledangan (Panampik Panangah) yang terdiri dari Palidangan Dalam, Anjung Kanan dan Anjung Kiwa, serta Panampik Padu (dapur).
Secara ringkas berikut ini akan diuraikan situasi ruang dan
kelengkapannya;
Di depan surambi muka biasanya terdapat lumpangan tempat air
untuk membasuh kaki. Pada surambi muka juga terdapat tempat air lainnya untuk
pembasuhan pambilasan biasanya berupa guci.
Ruangan ini lantainya lebih tinggi, dikelilingi pagar rasi.
Biasanya pada ruang ini terdapat sepasang kursi panjang.
Pacira dan Panurunan (Panampik
Kacil)
Setelah masuk Pacira akan didapatkan tanggui basar dan
tanggui kacil di arah sebelah kiri, sedangkan arah sebelah kanan terdapat
pengayuh, dayung, pananjak dan tombak duha. Di sayap kanan ruangan terdapat
gayung, sandal dan terompah tergantung di Balabat Panurunan.
Sebagai perlengkapan penerangan dalam ruangan ini terdapat dua buah lampu
gantung.
Paluaran (Panampik Basar)
Ruangan ini cukup besar digunakan untuk berbagai kegiatan
keluarga dan kemasyarakatan apabila masih kekurangan ruang Tawing
Halat yang memisahkan dengan Palidangan dapat dibuka. Di bagian tengah
di depan Tawing Halat ini terletak bufet. Di atasnya agak menyamping ke kiri
dan ke kanan terdapat gantungan tanduk rusa. Di tengah ruangan terdapat dua
buah lampu gantung. Lantainya diberi lampit dan kelengkapan
bergerak seperti paludahan, kapit dan gelas, parapen,
rehal.
Ruangan ini terdiri dari Paledangan Dalam dan Anjung Kiwa -
Anjung Kanan. Fungsi ruang sama dengan Paluaran, namun biasanya diperuntukkan
bagi kaum wanita. Di sini
terdapat kelengkapan lemari besar, lemari buta, kanap, kendi. Lantainya diberi
hambal sebagai alas duduk.
Anjung Kanan - Anjung Kiwa
Ruang Anjung Kanan merupakan ruang istirahat yang dilengkapi
pula dengan alat rias dan perlengkapan ibadah. Sedangkan
Anjung Kiwa merupakan tempat melahirkan dan tempat merawat jenazah. Di sini
juga di beri perlengkapan seperti lemari, ranjang,
meja dan lain-lain.
Padu (dapur)
Di samping untuk tempat perlengkapan masak dan kegiatannya,
ruang padu ini juga digunakan untuk menyimpan bahan makanan. Perlengkapan umum
yang terdapat di dalamnya adalah dapur, rak dapur, pambanyuan, lemari, tajau,
lampit dan ayunan anak.
Bentuk arsitektur dan pembagian ruang rumah tradisional
Bubungan Tinggi mempunyai kesamaan prinsip antara satu dengan lainnya, dengan
perbedaan-perbedaan kecil yang tidak berarti.
Dari sini dapat dilihat bahwa rumah tradisional Bubungan
Tinggi tersebut mempunyai keterikatan dengan nilai tradisional masyarakatnya.
Jadi meskipun pada awalnya bentuk tersebut dimaksudkan untuk
memenuhi tuntutan fungsi dan adaptasi terhadap lingkungan, tetapi karena
sifatnya yang berulang-ulang kemudian dari bentuk fungsional tersebut berubah
menjadi bentuk yang tradisional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar