Suku Moronene adalah salah satu empat suku besar (suku
Tolaki, Muna, Wolio) di Sulawesi Tenggara. Di kaki pulau yang mirif huruf
K itu ada suku Tolaki, Muna,
dan Wolio, Moronene,
lalu ada Wawoni, Kalisusu, Ciacia, serta Wakatobi.
Menurut antropolog Universitas Haluoleo, Kendari,
Sarlan Adi Jaya, Moronene adalah suku asli pertama yang mendiami wilayah itu.
Namun, pamornya kalah dibanding suku Tolaki karena pada abad ke-18 kerajaan
suku Moronene-luas wilayahnya hampir 3.400 kilometer persegi-kalah dari
kerajaan suku Tolaki.
Kata "moro" dalam bahasa setempat berarti serupa,
sedangkan "nene" artinya pohon resam, sejenis paku yang biasanya
hidup mengelompok. Kulit batangnya bisa dijadikan tali, sedangkan daunnya
adalah pembungkus kue lemper. Resam hidup subur di daerah lembah atau pinggiran
sungai yang mengandung banyak air. Sebagai petani, peramu, dan pemburu, suku
Moronene memang hidup di kawasan sumber air. Mereka tergolong suku bangsa dari
rumpun Melayu Tua yang datang dari Hindia Belakang pada zaman prasejarah atau
zaman batu muda, kira-kira 2.000 tahun sebelum Masehi. sejarah tua moronene
kemudian terbentuk pemerintah Bombana yang kemudian memecah menjadi tiga
protektorat pemerintah; Kabaena, Poleang, Rumbia. Tidak diketahui kapan
tepatnya suku Moronene mulai menghuni kawasan Taman Nasional Rawa
Aopa Watumohai. Tetapi sebuah peta yang dibuat pemerintah Belanda pada
tahun 1820 sudah mencantumkan nama Kampung Hukaea, yakni kampung terbesar orang
Moronene, yang sekarang masuk dalam areal taman nasional itu. Permukiman mereka
tersebar di tujuh kecamatan, enam di Kabupaten Buton dan satu di Kabupaten Kolaka. Di luar komunitas itu, orang
Moronene menyebar pula di beberapa tempat seperti Kabupaten Kendari karena
terjadinya migrasi akibat gangguan keamanan dari Darul Islam sekitar tahun 1952-1953.
Kampung Hukaea, Laea, dan Lampopala biasa disebut orang
Moronene sebagai Tobu Waworaha atau perkampungan tua bekas tempat tinggal para
leluhur. Orang-orang Moronene masih sering mengunjungi tobu untuk membersihkan
kuburan leluhur mereka ketika hari raya Idul
Adha tiba-sebagian warga Moronene beragama Islam. Belakangan, setelah
beberapa kuburan digali dan dipindahkan oleh orang tak dikenal, orang-orang
Moronene bermukim kembali di Hukaea-Laea. Di zaman administrasi pemerintah
Belanda, Hukaea termasuk distrik Rumbia, yang dipimpin seorang mokole (kepala
distrik). Rumbia membawahkan 11 tobu, tujuh di antaranya masuk dalam wilayah
taman nasional. Menurut Abdi, dari LSM Suluh Indonesia, jumlah orang Moronene
di Sulawesi Tenggara saat ini diperkirakan sekitar 50.000an, 0,5 persen di
antaranya tinggal dalam kawasan taman nasional.
Seperti kebanyakan masyarakat adat lainnya, orang Moronene
juga melakukan perladangan berpindah dengan sistem rotasi. Tapi sistem itu
sudah lama ditinggalkan dan mereka memilih menetap. Suku Moronene juga dikenal
pandai memelihara ekosistem mereka. Jonga atau sejenis rusa, misalnya, masih
sering ditemui di sekitar permukiman mereka di Hukaea, termasuk burung kakatua
jambul kuning, satwa endemik Sulawesi yang dilindungi. Namun, sifat asli suku
ini, yang memegang adat mosombu lebih merasa tenang menyendiri.
Namun kehidupan tenang itu perlahan-lahan terusik ketika
pemerintah pada tahun 1990 menetapkan kawasan itu sebagai taman nasional.
Dengan alasan itulah aparat Pemda Sulawesi Tenggara mengerahkan polisi dan
tentara menggelar Operasi Sapu Jagat untuk mengusir keluar orang-orang
Moronene. Alasannya, biar hutan tak rusak sehingga bisa dijual sebagai obyek
ekoturisme dan sumber pendapatan da-erah lainnya. Padahal, hak masyarakat adat
atas tanah ulayat mereka diakui oleh Undang-Undang Kehutanan tahun 1999.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar