Pulau Sumba didiami oleh suku Sumba dan terbagi
atas dua kabupaten, Sumba Barat dan Sumba Timur. Masyarakat Sumba cukup mampu
mempertahankan kebudayaan aslinya di tengah-tengah arus pengaruh asing yang
telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan
khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup di
tengah-tengah masyarakat Sumba ash. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai
ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumahrumah ibadat
(umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias
ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti
kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata.
Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan
(maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku,
walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara
nyata pada tata rias dan busananya. Dewasa ini perbedaan pada busana lebih
ditunjukkan oleh tingkat kepentingan peristiwa seperti pada pesta-pesta adat,
upacara-upacara perkawinan dan kematian dimana komponen-komponen busana yang
dipakai adalah buatan baru. Sedangkan busana lama atau usang biasanya dipakai
di rumah atau untuk bekerja sehari-hari.
Bagian terpenting dari perangkat pakaian adat Sumba terletak
pada penutup badan berupa lembar-lembar besar kain hinggi untuk pria dan lau
untuk wanita. Dari kain-kain hinggi dan lau tersebut, yang terbuat dalam teknik
tenun ikat dan pahikung serta aplikasi muti dan hada terungkap berbagai
perlambangan dalam konteks sosial, ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar