Ada keunikan tersendiri jika kita membicarakan soal rumah
adat di Kepulauan Riau. Di sana kita akan sangat mudah menjumpai beragam jenis
rumah tradisional seperti Rumah Melayu Atap Lontik, Melayu Atap Limas, Melayu
Lipat Kajang,Balai Salaso Jatuh, dan Rumah Adat Salaso Jatuh Kembar. Namun
ketika pemerintah pusat, pada tahun 1971, hendak membangun TMII (Taman
Mini Indonesia Indah), tiap-tiap daerah harus menentukan satu jenis rumah adat
untuk dibuatkan Anjungan
rumah adat sebagai representasi resmi rumah adat di
daerah propinsi tersebut.
Saat itu Gubernur Riau adalah Arifin Ahmad. Beliau
membentuk tim 9 yang terdiri dari budayawan dan pemikir Melayu. Tim 9 ini
bertugas untuk mendesain dan membuat Rumah Adat Riau dengan melakukan riset
keliling Riau. Kemudian lahirlah sebuah arsitektur rumah yang hari ini bisa
kita temui pada anjungan rumah adat Riau di TMII yang kita kenal dengan nama
Selaso Jatuh Kembar. Kemudian Rumah Selaso Jatuh Kembar dipopulerkan
dan ditetapkan oleh Gubernur Riau Imam Munandar sebagai Rumah Adat kebudayaan
masyarakat Riau.
Riau memang sangat kaya dengan keragaman seni dan budayanya,
seperti halnya keragam bentuk dari rumah adat yang terdapat di kabupaten dan
kota di Provinsi Riau. Keragaman tersebut terjadi karena secara geografi
provinsi Riau terpisahkan laut antara satu pulau dengan lainnya. Mungkin jaman
dahulu faktor tersebut menjadi akibat dari sulitnya komuikasi sehingga saling
mengisolasi diri. Maka antara satu daerah dan lainya walau agak mirip tapi bentuk
budaya dan rumahnya sedikit berbeda.
Namun dari keragaman bentuk rumah tradisional yang terdapat
di Riau, ada kesamaan jenis dan gaya arsitektur. Dari jenisnya, rumah
tradisional masyarakat Riau pada umumnya adalah rumah panggung yang berdiri
diatas tiang dengan bentuk bangunan persegi panjang. Dari beberapa bentuk rumah
ini hampir serupa, baik tangga, pintu, dinding, susunan ruangannya sama, dan
memiliki ukiran melayu seperti selembayung, lebah bergayut, pucuk rebung dll.
Keumuman berikutnya terletak pada arah rumah tradisional masyarakat Riau yang dibangun menghadap ke sungai. Ini terjadi karena masyarakat tardisional Riau menggunakan sungai sebagai sarana transfortasi. Maka tak heran jika kita akan menemukan banyak perkampungan masyarakat Riau terletak di sepanjang pinggiran sungai Siak, Mandau, Siak Kecil dan pada anak sungai di pedalam lainnya. Karena tipographi pemukiman masyarakat Riau yang demikian, maka kita akan mendapati pangkalan tempat menambatkan perahu dan juga tempat mandi di muka rumah masing-masing. Selain itu, hingga tahun 70-an, kampung-kampung tersebut tidak mengenal batas-batas tertentu, seperti halnya perkampungan masyarakat pantai. Kampung-kampung mereka biasanya dinamai berdasarkan nama sungai atau tumbuhan yang terdapat di sana. Namun hari ini tentunya telah dibuatkan sarana adminstrasi seperti Balai Desa, dll dengan istilah “pemekaran”.
Keumuman berikutnya terletak pada arah rumah tradisional masyarakat Riau yang dibangun menghadap ke sungai. Ini terjadi karena masyarakat tardisional Riau menggunakan sungai sebagai sarana transfortasi. Maka tak heran jika kita akan menemukan banyak perkampungan masyarakat Riau terletak di sepanjang pinggiran sungai Siak, Mandau, Siak Kecil dan pada anak sungai di pedalam lainnya. Karena tipographi pemukiman masyarakat Riau yang demikian, maka kita akan mendapati pangkalan tempat menambatkan perahu dan juga tempat mandi di muka rumah masing-masing. Selain itu, hingga tahun 70-an, kampung-kampung tersebut tidak mengenal batas-batas tertentu, seperti halnya perkampungan masyarakat pantai. Kampung-kampung mereka biasanya dinamai berdasarkan nama sungai atau tumbuhan yang terdapat di sana. Namun hari ini tentunya telah dibuatkan sarana adminstrasi seperti Balai Desa, dll dengan istilah “pemekaran”.
Maka menjadi keunikan tersendiri ketika Rumah Selaso
Jatuh Kembar diajukan sebagai rumah tradisional Riau untuk dibuatkan
anjungannya di TMII pada tahun 1971. Karena ternyata Rumah
Selaso Jatuh Kembar adalah sejenis bangunan berbentuk rumah (dilingkupi
dinding, berpintu dan jendela) tapi fungsinya bukan untuk tempat tinggal
melainkan untuk musyawarah atau rapat secara adat karena “rumah” ini tidak memiliki
serambi atau kamar.
Jika dideskripsikan, denah rumah Selaso Jatuh Kembar hanya memiliki Selasar di bagian depan. Tengah rumah pada bagian tengah dengan bersekat papan antara selasar dan telo. Kemudian bentuk rumah mengecil pada bagian telo yang berguna sebagai tempat makan, dll. Dan pada bagian belakang terdapat dapur.
Jika dideskripsikan, denah rumah Selaso Jatuh Kembar hanya memiliki Selasar di bagian depan. Tengah rumah pada bagian tengah dengan bersekat papan antara selasar dan telo. Kemudian bentuk rumah mengecil pada bagian telo yang berguna sebagai tempat makan, dll. Dan pada bagian belakang terdapat dapur.
Balai Salaso Jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya
lebih rendah dari ruang tengah, karena itu dikatakan Salaso Jatuh. Semua
bangunan baik rumah adat maupun balai adat diberi hiasan terutama berupa
ukiran. Di puncak atap selalu ada hiasan kayu yang mencuat keatas bersilangan
dan biasanya hiasan ini diberi ukiran yang disebutSalembayung atau Sulobuyung yang
mengandung makna pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selasar dalam
bahasa melayu disebut dengan Selaso. Selaso jatuh kembar sendiri bermakna
rumah yang memiliki dua selasar (selaso, salaso) yang lantainya lebih
rendah dari ruang tengah.
Rumah Selaso Jatuh Kembar dihiasi corak dasar
Melayu Riau umumnya bersumber dari alam, yakni terdiri atas flora, fauna, dan
benda-benda angkasa. Benda-benda itulah yang direka-reka dalam bentuk-bentuk
tertentu, baik menurut bentuk asalnya seperti bunga kundur, bunga hutan, maupun
dalam bentuk yang sudah diabstrakkan atau dimodifikasi sehingga tak lagi
menampakkan wujud asalnya, tetapi hanya menggunakan namanya saja seperti itik
pulang petang, semut beriring, dan lebah bergantung.
Di antara corak-corak tersebut, yang terbanyak dipakai
adalah yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan (flora). Padahal sejak jaman dahulu
gaya arsitektur bangunan dan seni ukir masyarakat Riau sangat kuat dipengaruhi
oleh corak Hindu-Budha. Peralihan gaya pada corak ini terjadi karena orang
Melayu Riau kekinian pada umumnya beragama Islam. Sehingga corak hewan (fauna)
dikhawatirkan menjurus pada hal-hal yang berbau “keberhalaan”. Jika kita
telusuri sejarah kelahiran tulisan melayu (aksara arab) dan corak seni ukir
flora masyarakat Melayu Riau ini dilatarbelakangi oleh perkembangan Agama Islam
mulai dari jaman kerajaan Malaka.
Ada pun corak hewan yang dipilih umumnya yang mengandung
sifat tertentu atau yang berkaitan dengan mitos atau kepercayaan tempatan.
Corak semut dipakai walau tidak dalam bentuk sesungguhnya, disebut semut
beriring karena sifat semut yang rukun dan tolong-menolong. Begitu pula dengan
corak lebah, disebut lebah bergantung, karena sifat lebah yang selalu memakan
yang bersih, kemudian mengeluarkannya untuk dimanfaatkan orang ramai (madu).
Corak naga berkaitan dengan mitos tentang keperkasaan naga sebagai penguasa
lautan dan sebagainya. Selain itu, benda-benda angkasa seperti bulan, bintang,
matahari, dan awan dijadikan corak karena mengandung nilai falsafah tertentu
pula.
Ada pula corak yang bersumber dari bentuk-bentuk tertentu yakni wajik (Belah ketupat), lingkaran, kubus, segi, dan lain-lain. Di samping itu, ada juga corak kaligrafi yang diambil dari kitab Alquran. Pengembangan corak-corak dasar itu, di satu sisi memperkaya bentuk hiasan. Di sisi lain, pengembangan itu juga memperkaya nilai falsafah yang terkandung di dalamnya.
Ada pula corak yang bersumber dari bentuk-bentuk tertentu yakni wajik (Belah ketupat), lingkaran, kubus, segi, dan lain-lain. Di samping itu, ada juga corak kaligrafi yang diambil dari kitab Alquran. Pengembangan corak-corak dasar itu, di satu sisi memperkaya bentuk hiasan. Di sisi lain, pengembangan itu juga memperkaya nilai falsafah yang terkandung di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar