SPIRITUALITAS, TRADISI, DAN ESTETIKA ORANG BALI
Rumah Gapura Candi Bentar merupakan rumah adat resmi Provinsi
Bali. Hunian tradisional ini tergolong salah satu yang terunik di tanah air.
Dalam Rumah Gapura Candi Bentar—dan rumah adat Bali lainnya—nilai-nilai
spiritualitas, tradisi, dan estetika, berpadu harmonis menghadirkan pesona
kebudayaan yang adiluhung.
Istilah “Gapura Candi Bentar” sendiri sejatinya merujuk pada bangunan
gapura yang menjadi gerbang pada rumah-rumah tradisional Bali. Gapura tersebut
terdiri dari dua buah candi serupa dan sebangun, tetapi merupakan simetri
cermin, yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk ke pekarangan rumah.
Gapura tersebut tidak memiliki atap penghubung pada bagian atas, sehingga kedua
sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung dibagian dalam oleh anak-anak
tangga yang menjadi jalan masuk.
Selain di Pulau Bali, gapura dengan tipe seperti ini juga
bisa dijumpai di Pulau Jawa dan daerah Lombok. Gapura Candi Bentar pertama kali
mucul pada zaman Majapahit. Di area bekas Kesultanan Mataram, di Jawa Tengah
dan Yogyakarta, gerbang serupa ini juga dikenal dengan sebutan “supit urang” (capit
udang).
Bagian dan Fungsi Rumah Adat Bali
Prawata (2004; 8) menjelaskan bahwa rumah, bagi orang
Bali adalah keseluruhan bangunan dalam pekarangan yang bisanya dikelilingi
tembok (panyengker). Berikut adalah bangunan-bangunan yang dimaksud beserta
masing-masing fungsinya. Sanggah atau pamerajan yang merupakan tempat suci bagi
keluarga, panginjeng karang yang merupakan tempat untuk memuja roh yang menjaga
pekarangan, bale manten, yakni tempat tidutr kepala keluarga, gadis, serta
menyimpan barang berharga (kadang digunakan pasangan yang baru menikah), bale
gede/bale adat sebagai tempat upacara lingkaran hidup, yang dalam kehidupan
sehari-hari digunakan sebagai bale serbaguna, bale dauh sebagai tempat kerja,
pertemuan, dan tempat tidur anak laki-laki, paon atau dapur sebagai tempat
memasak, dan lumbung, sebagai tempat menyimpan padi/hasil bumi.
Nilai-nilai dalam Rumah Adat Bali
Rumah Gapura Candi Bentar, dan rumah adat Bali lainnya,
memiliki ciri khas yang tidak ditemui di daerah lainnya di tanah air, bahkan di
dunia. Rumah Bali dibangun dengan aturan yang disebut Asta Kosala Kosali,
yakni filosofi yang mengatur tatahubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia
dengan manusia, dan manusia dengan alam.
Umumnya, sudut utara-timur adalah tempat yang lebih
disucikan, sehingga diletakan ruang-ruang yang lebih dinilai suci, sedangkan
sudut barat-selatan merupakan sudut yang lebih rendah derajat kesuciannya dalam
tata ruang rumah, yang biasanya merupakan arah masuk ke hunian atau untuk
bangunan lain seperti kamar mandi dan lain-lain.
Ditinjau dari sudut pandang ilmu bumi, arsitektur Bali
menyesuaikan dengan iklim tropis Indonesia dan keadaan dataran tinggi maupun
rendah. Di daerah dataran tinggi pada umumnya bangunannya kecil-kecil dan
tertutup, demi menyesuaikan keadaan lingkungannya yang cenderung dingin. Tinggi
dinding di buat pendek, untuk menghindari sirkulasi udara yang terlalu sering.
Luas dan bentuk pekarangan relatif sempit dan tidak beraturan disesuaikan
dengan topografi tempat tinggalnya. Sementara untuk daerah dataran rendah,
pekarangannya relatif luas dan datar sehingga bisa dimanfaatkan sebagai temapt
berkumpul massa untuk agenda-agenda adat tertentu, yang umumnya berdinding
terbuka, di mana masing-masing mempunyai fungsi tersendiri.
Dari segi material, bahan bangungan yang digunakan
bergantung pada tingkat kemapanan si pemiliknya. Masyarakat biasa menggunakan
popolan (speci yang terbuat dari lumpur tanah liat) untuk dinding bangunan,
sedangkan golongan raja dan brahmana menggunakan tumpukan bata-bata. Untuk
tempat suci/tempat pemujaan baik milik satu keluarga maupun milik suatu
kumpulan kekerabatan, menggunakan bahan sesuai kemampuan ekonomi masing-masing
keluarga. Seperti untuk bahan atap menggunakan ijuk bagi yang ekonominya mampu,
sedangkan bagi yang ekonominya kurang mampu bisa menggunakan alang-alang atau
genteng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar